Senin, 29 April 2013

Cerita Sekuntum Bunga Berwarna Kuning

Aku adalah satu dari beberapa kuntum bunga kuning di pohon ini. Pagi ini Surabaya cukup teduh, dan mungkin akan berlanjut hingga nanti siang. Angin berhembus pelan, membuatku dan beberapa temanku menari di antara dedaunan hijau yang melekat teratur di sisi-sisi ranting. Angin yang bersiul adalah musik terindah bagi kami menari.

Seorang gadis dengan tas punggung warna ungu berjalan pelan di sisi seseorang yang mungkin kekasihnya. Atau bukan, mereka hanya teman yang saling memberi semangat satu sama lain. Aku tidak bisa menyimpulkan hubungan mereka. Tapi dari mata gadis itu, ada sebuah harapan yang tidak pernah dia sadari. Senyumannya tulus, menunjukkan kebahagiaan yang dia miliki sekarang nyata. Sepertinya dia belum pernah tahu bahagia itu sebenarnya apa. Meskipun dia tidak pernah menunjukkan rasa bahagia itu, aku tahu. Karena aku adalah sekuntum bunga berwarna kuning yang menari diantara dedaunan hijau diiringi siulan angin.

Mereka berjalan memasuki gedung secara beriringan, kemudian mereka berpisah ketika baru sampai beberapa langkah dari pintu masuk. Gadis itu duduk di bangku panjang yang berada di sisi kiri setelah pintu masuk. Sedangkan laki-laki yang tadi bersamanya tadi masuk ke dalam, entah kemana aku tak melihatnya lagi. Di bangku panjang itu bukan hanya ada dia, ada seorang ibu-ibu yang terlebih dahulu duduk di situ.

Pandangannya mondar-mandir memperhatikan orang-orang dengan dandanan sangat rapi yang lalu-lalang lewat di depannya. Bukan pandangan penasaran atau kagum, melainkan pandangan cuek. Iya, cuek. Aku tidak mungkin salah dengan kesimpulanku sendiri. Dia sebenarnya tidak peduli dengan orang-orang itu, dia hanya memberi pekerjaan matanya yang menganggur. Kalau seandainya dia bisa melihatku di sini, mungkin dia lebih tertarik mengagumi keindahanku. Ah tidak, itu tidak mungkin. Dia tidak akan peduli denganku, karena aku hanya sekuntum bunga berwarna kuning.

Orang-orang dengan dandanan sangat rapi di luar gedung sepertinya sudah habis. Sekarang, yang duduk di bangku panjang itu ada lima orang. Empat orang lain, dan gadis yang memiliki pandangan ragu-ragu itu. Cara dia melihat dunia berbeda dengan gadis-gadis yang pernah aku perhatikan. Meskipun aku hanya sekuntum bunga berwarna kuning, aku bisa menyimpulkan perasaannya sekarang. Antara iya atau tidak. Tidak, kali ini aku rasa aku salah menyimpulkan tentang dia. Bukan antara iya atau tidak, tapi tentang jawaban dari satu kata 'mengapa'. Mengapa dia di sini? Mengapa dia ragu? Mengapa harus ada kata tidak? Mengapa harus iya? Pertanyaan itu yang tertulis di matanya yang bimbang. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang diawali 'mengapa' di sana, hanya saja aku tidak bisa membacanya.

Dia tidak pernah terlihat bosan dengan kegiatan menunggunya. Padahal dari awal aku melihatnya, aku yakin dia tipe orang yang cepat bosan. Memang dia ditemani sebuah buku bersampul putih yang bertuliskan 'Nayla'. Selain itu, ada kabel yang terlihat menggantung. Sebuah kabel yang menghubungkan sebuah alat yang dapat memutarkan beberapa lagu dengan telinganya. Dia bisa membuat duniannya sendiri.

Tapi dia tetap ragu dengan dirinya sendiri, dengan hatinya. Tentang beberapa pilihan yang sebenarnya tidak pernah bisa dia pilih. Tentang suatu kepercayaan, kebahagiaan dan rasa sakit. Dia tidak bisa menyimpulkan perasaan yang dia miliki ini apa. Dia tidak takut disakiti, tapi dia lebih takut untuk menyakiti. Tidak ada alasan bagi dia memberikan kepercayaan pada orang lain. Tidak ada sebab yang bisa dia lihat untuk bahagia karena orang lain.

Satu per satu penanti yang duduk di bangku panjang itu berpindah, karena bosan. Tapi dia masih di tempat semula, masih dengan buku dan kabel yang menemaninya. Dia masih belum bosan menanti. Mungkin dia tipe seorang yang setia. Mungkin, hanya mungkin. Karena aku belum yakin tentang itu. Dia tidak tahu kenapa dia harus menanti laki-laki itu. Dia hanya tahu, dia merasakan kebahagiaan yang berbeda saat dengan laki-laki itu. Sebuah kebahagiaan yang belum pernah dia tahu sebelumnya. Dia juga merasa untuk pertama kalinya bisa mempercayai orang lain, meskipun sebenarnya belum sepenuhnya dia mempercayai dirinya sendiri.

Lima jam dia menanti. Kursi panjang tempatnya membuktikan kesetiaan sudah tidak seperti tadi, sekarang hanya ada dia duduk sendiri di sana. Matanya berbicara kalau dia lelah. Tapi bukan lelah karena menunggu, tapi lelah karena tidak bisa mempercayai siapa-siapa. Dia bukan lelah karena terlalu bosan, dia hanya lelah terlalu lama pura-pura bahagia. Setelah ini mungkin dia bisa percaya dengan satu orang, atau malah kepercayaan yang mulai tumbuh itu hilang seluruhnya. Setelah ini mungkin dia benar-benar yakin kalau bahagianya bukan lagi sebuah kepura-puraan, atau malah lupa kalau pernah ada bahagia di dunia ini sehingga untuk berpura-pura bahagia saja dia tidak mampu.

Angin mulai tidak bersahabat. Dia menyerangku. Padahal aku masih ingin menari dengannya sambil memperhatikan gadis yang sedang berperang melawan dirinya sendiri. Dia semakin kencang, berusaha membuatku jatuh ke atas aspal. Dia mendorongku semakin kuat, namun aku masih bisa bertahan hingga satu jam. Enam jam, akhirnya penantian itu usai. Laki-laki tadi menariknya keluar dari gedung. Wajah gadis itu benar-benar jujur sekarang, dia bahagia. Tapi aku lengah, angin berhasil menjatuhkanku. Dan aku sempat melihat senyum lebar gadis itu sebelum sebuah roda becak melindasku yang terkapat di atas aspal.

***

Untuk kebahagiaan yang tidak pernah ada - MeiMalich

P.S. Gue sempet nangis pas nulis ini :)