Selasa, 31 Juli 2012

Alone Lonely

Putus asa adalah satu hal yang paling mudah aku laksanakan.
Entah mengapa sejak dulu, meskipun hanya satu hal kecil yang membuatku kecewa aku langsung putus asa.
Aku takut, takut bertindak lebih.
Bukan tanpa alasan, aku hanya takut kecewa.
Mungkin sebagian orang beranggapan kalau kekecewaan itu termasuk bumbu kehidupan.
Tapi untukku, kekecewaan adalah sebuah pukulan keras yang bisa menghancurkan aku sendiri.
Aku mudah putus asa, tapi sangat susah bangkit lagi.
Aku terlalu takut kecewa, takut dicemooh, takut ditertawakan dan takut terluka.
Bersembunyi dalam tawa itu mudah, tapi menyembunyikan air mata sungguh susah.
Belum ada seorang pun yang bisa membuatku lebih berani, membuatku begitu susah melepas kata putus asa untuk diriku, atau mencegah air mata tumpah saat mataku tengah kecewa.
Aku butuh dia, tapi dia tidak disini.
Aku hanya bisa menangis sendiri di sudut kamar.
Mungkin sejenak aku bisa menghibur diriku dengan melihat mereka, air mata mereka yang tumpah akibat orang yang mereka sayangi.
Menangis karena orang yang kamu cintai memang sakit, tapi lebih sakit lagi saat tidak ada seorang pun yang kamu cintai.
Kosong, seperti tidak ada penyemangat.
Kesepian itu tidak semudah itu datang pada diriku, tapi saat ini semua itu terjadi.
Tidak secara tiba-tiba memang, tapi persiapanku untuk menghadapinya belum sejauh itu.
Saat aku mulai putus asa lagi, siapa yang bisa mendengarku sekarang?
Ketika aku harus menyaksikan mereka yang memiliki pundak untuk bersandar, memiliki jemari untuk digenggam, dan sebuah tatapan teduh yang bisa membangkitkan mereka kembali.
Aku pernah menangis karena cinta, tapi rasanya tidak sesakit ini.
Rasa paling sakit ketika tidak ada cinta yang tumbuh di hatimu.
Kamu tahu rasanya? Kosong, sepi dan perlahan keping-keping hati itu runtuh. Sedikit demi sedikit jatuh ke bumi, hilang lalu entah kemana.
Aku tidak yakin untuk apa aku menangis sekarang. Untuk kesepianku atau keputus asaanku?
Kadang ketika kamu membiarkan hidupmu mengalir seperti air, pada akhirnya kamu akan merasakan pedih tersayat pedang secara perlahan.
Tapi saat kamu memaksakan hidupmu dalam target yang kamu buat sendiri, sebuah tombak akan menusuk pikiranmu.
Aku mencoba berfikir positif tentang rencana-Nya, tiap detik.
Dia juga melihat air mataku malam ini, saat dunia sudah terlelap bersama mimpi-mimpi mereka.
Tapi, harus berapa lama lagi aku menunggu wujud rencana itu?
Harus berapa kali lagi Dia memberi aku kesempatan menangis sendiri seperti ini?
"Calm down, Mee! U'll be fine..."
But I'm not okay!

1 komentar: