BAB I
PENDAHULUAN
Untuk meningkatkan mutu gizi,
masyarakat Indonesia sangat memerlukan tambahan konsumsi daging, khususnya
daging sapi. Tambahan konsumsi merupakan peluang untuk meningkatkan usaha
peternakan sapi di Indonesia. Diharapkan, kita bisa berswasembada daging
sehingga tidak perlu mengimpor.
Indonesia sebenarnya merupakan
tempat yang potensial untuk pengambangan ternak sapi potong. Upaya pengambangan
ini perlu didukung berbagai faktor penunjang, terutama bakalan, pakan yang
cukup, lingkungan iklim sosial, dan peluang pasar.
Pada saat ini, peranan ternak sapi
sangat dominan dalam menghasilkan pupuk organik yang telah dikumandangkan
penggunaannya. Ada beberapa tujuan dilakukan usaha ternak sapi potong. Tujuan
tersebut antara lain untuk upacara ritual, sebagai bahan makanan, untuk
mendapatkan uang, untuk mendapatkan tenaga, sebagai peghasil pupuk, penghasil
kulit, dan sebagai hewan kesayangan.
Daging sapi dapat dipergunakan
sebagai bahan makanan perbaikan gizi. Apalagi bagi berbagai daerah pedesaan di
Indonesia masih serba kekurangan gizi termasuk protein dan kalori. Sapi dapat
dijual dalam bentuk hidup dengan tujuan untuk dipotong pada umur potong atau
sapi yang sudah tidak berguna dalam produksi atau sudah tua. (Sitepoe, 2009)
Menurut Sudarmono dan Sugeng (2008)
ternak sapi berkemanfaatan lebih luas an bernilai ekonomis lebih besar dari
ternak lain. Usaha ternak sapi merupakan usaha yang lebih menarik sehingga
mudah merangsang pertumbuhan usaha. Hal ini bisa dibuktikan perkembangan ternak
sapi di Indonesia lebih maju daripada ternak besar ataupun kecil seperti
kerbau, babi, domba dan kambing.
Usaha apapun dimaksudkan untuk
memeperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini termasuk usaha
penggemukan sapi potong. Suatu usaha dikatakan untung apabila jumlah pendapatan
yang diperoleh lebih lebih besar dari total pengeluaran, sebaliknya suatu usaha
dikatakan rugi jika pendapatan yang diperoleh dibawah biaya produksi.
BAB II
PEMBAHASAN
Biaya produksi adalah semua pengeluaran
yang digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa
(Soeharno, 2009) Biaya produksi dibedakan menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap
dan biaya tidak tetap (variabel).
Dijelaskan oleh Sudarmono dan Sugeng
(2008), biaya tetap merupakan biaya investasi yang besarnya tidak pernah
berubah, meskipun perolehan hasil produksi berubah. Termasuk biaya tetap adalah
sewa lahan, bangunan kandang dan peralatan. Sedangkan biaya tidak tetap
jumlahnya bisa berubah-ubah sesuai produksi dan harga di pasaran waktu itu.
Termasuk biaya tidak tetap diantaranya pembelian bakalan, harga pakan, upah
tenaga kerja, rekening telepon dan listrik, serta transportasi.
Berikut ini merupakan analisa usaha
penggemukan sapi potong berdasarkan beberapa asumsi berikut:
1. Skala
usaha dirancang untuk menghasilkan 10 ekor penggemukan sapi peranakan ongole
(PO).
2. Harga
sapi bakalan adalah Rp. 5 juta dengan bobot badan rata-rata 300 kg.
3. Pertambahan
bobot badan per hari adalah 0,85 kg
4. Kebutuhan
pakan:
a. Hijauan
berupa rumput, per ekor sapi membutuhkan sebanyak 30 kg dengan harga Rp. 350/
kg
b. Konsentrat
diberikan 4 kg per hari dengan harga Rp. 3000/ kg.
c. Sewa
lahan seluas 500 m² sebesar Rp. 3.000.000,- per tahun atau Rp. 1.500.000,- per
periode penggemukan.
d. Bangunan
kandang senilai 30 juta diperkirakan tahan sampau 20 tahun, sehingga selama
satu tahun Rp. 30.000.000 : 20 tahun = Rp. 1.500.000,- berarti satu periode
penggemukan senilai Rp. 750.000,-
A. Biaya
Produksi
a. Biaya
tetap
1.
|
Sewa lahan seluas 500
m²
|
=
Rp.
|
1.500.000,-
|
2.
|
Penyusutan kandang
dan perawatan
|
=
Rp.
|
750.000,-
|
3.
|
Jumlah biaya tetap
|
= Rp.
|
2.250.000,-
|
b. Biaya
Variabel
1.
|
Sapi
bakalan 10 ekor
|
=
Rp.
|
50.000.000,-
|
2.
|
Kebutuhan
pakan
|
|
|
|
Hijauan
30 kg x 10 ekor x 180 hari x Rp. 350
|
=
Rp.
|
18.900.000,-
|
|
Konsentrat
4 kg x 10 ekor x 180 hari x Rp. 3000
|
=
Rp.
|
21.600.000,-
|
3.
|
Tenaga
kerja 1 orang 180 hari x Rp. 25.000,-
|
=
Rp.
|
4.500.000,-
|
4.
|
Lain-lain
(Listrik, telepon, transportasi)
|
=
Rp.
|
2.500.000,-
|
5.
|
Total
biaya Variabel
|
= Rp.
|
97.500.000,-
|
c. Total
biaya produksi = Rp.
99.750.000,-
B. Pendapatan
a. Hasil
penggemukan 10 ekor sapi
4500
kg x Rp. 30.000
|
= Rp.
|
135.000.000,-
|
b. Penjualan
pupuk
8500
kg x Rp. 300
|
=
Rp.
|
2.550.000,-
|
c.
Total hasil produksi = Rp. 137.550.000,-
C. Keuntungan
Keuntungan
yang diperoleh dari hasil penggemukan sapi-sapi selama 1 periode (6 bulan)
adalah sebagai berikut.
Total
pendapatan – Total biaya produksi
Rp. 137.550.000 - Rp. 99.750.000 = Rp. 37.800.000,-
D. Break Even Point
(BEP)
Analisa
BEP atau titik impas dari usaha tersebut adalah sebagai berikut.
BEP
harga produksi = Total Biaya / Total jumlah produksi
= Rp. 99.750.000,- / 10 ekor
= Rp.
9.975.000,-
E. Benefit Cost Ratio
Suatu
usaha dikatakan layak apabila angka B/C rationya lebih dari 1, dengan
perhitungan sebagai berikut :
B/C
Ratio = Total pendapatan / Total biaya
= Rp. 137.550.000,- / Rp. 99.750.000,-
= 1,38
Jadi,
tiap peningkatan biaya sebesar Rp. 100,- menghasilkan penerimaan sebesar Rp.
138,-
BAB III
PENUTUP
Dari analisa usaha tersebut dapat
disimpulkan bahwa, usaha tersebut layak dilaksanakan. Karena, dari perhitungan
B/C ratio didapatkan hasil lebih dari 1. Sedangkan titik impas tercapai jika
sapi hasil penggemukan dijual seharga Rp. 9.975.000,- per ekor.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarmono
A.S. dan Sugeng Y.B. 2008. Sapi Potong.
Depok : Penebar Swadaya.
Soeharno,
TS. 2009. Teori Mikro Ekonomi.
Yogyakarta : Penerbit Andi.
Sitepoe,
M. 2009. Cara Memelihara Sapi Organik.
Jakarta : Indeks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar