Sabtu, 21 April 2012

Analisa Usaha Peternakan Sapi Potong

BAB I
PENDAHULUAN


            Untuk meningkatkan mutu gizi, masyarakat Indonesia sangat memerlukan tambahan konsumsi daging, khususnya daging sapi. Tambahan konsumsi merupakan peluang untuk meningkatkan usaha peternakan sapi di Indonesia. Diharapkan, kita bisa berswasembada daging sehingga tidak perlu mengimpor.
            Indonesia sebenarnya merupakan tempat yang potensial untuk pengambangan ternak sapi potong. Upaya pengambangan ini perlu didukung berbagai faktor penunjang, terutama bakalan, pakan yang cukup, lingkungan iklim sosial, dan peluang pasar.
            Pada saat ini, peranan ternak sapi sangat dominan dalam menghasilkan pupuk organik yang telah dikumandangkan penggunaannya. Ada beberapa tujuan dilakukan usaha ternak sapi potong. Tujuan tersebut antara lain untuk upacara ritual, sebagai bahan makanan, untuk mendapatkan uang, untuk mendapatkan tenaga, sebagai peghasil pupuk, penghasil kulit, dan sebagai hewan kesayangan.
            Daging sapi dapat dipergunakan sebagai bahan makanan perbaikan gizi. Apalagi bagi berbagai daerah pedesaan di Indonesia masih serba kekurangan gizi termasuk protein dan kalori. Sapi dapat dijual dalam bentuk hidup dengan tujuan untuk dipotong pada umur potong atau sapi yang sudah tidak berguna dalam produksi atau sudah tua. (Sitepoe, 2009)
            Menurut Sudarmono dan Sugeng (2008) ternak sapi berkemanfaatan lebih luas an bernilai ekonomis lebih besar dari ternak lain. Usaha ternak sapi merupakan usaha yang lebih menarik sehingga mudah merangsang pertumbuhan usaha. Hal ini bisa dibuktikan perkembangan ternak sapi di Indonesia lebih maju daripada ternak besar ataupun kecil seperti kerbau, babi, domba dan kambing.
            Usaha apapun dimaksudkan untuk memeperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini termasuk usaha penggemukan sapi potong. Suatu usaha dikatakan untung apabila jumlah pendapatan yang diperoleh lebih lebih besar dari total pengeluaran, sebaliknya suatu usaha dikatakan rugi jika pendapatan yang diperoleh dibawah biaya produksi.

BAB II
PEMBAHASAN

            Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa (Soeharno, 2009) Biaya produksi dibedakan menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap (variabel).
            Dijelaskan oleh Sudarmono dan Sugeng (2008), biaya tetap merupakan biaya investasi yang besarnya tidak pernah berubah, meskipun perolehan hasil produksi berubah. Termasuk biaya tetap adalah sewa lahan, bangunan kandang dan peralatan. Sedangkan biaya tidak tetap jumlahnya bisa berubah-ubah sesuai produksi dan harga di pasaran waktu itu. Termasuk biaya tidak tetap diantaranya pembelian bakalan, harga pakan, upah tenaga kerja, rekening telepon dan listrik, serta transportasi.
            Berikut ini merupakan analisa usaha penggemukan sapi potong berdasarkan beberapa asumsi berikut:
1.      Skala usaha dirancang untuk menghasilkan 10 ekor penggemukan sapi peranakan ongole (PO).
2.      Harga sapi bakalan adalah Rp. 5 juta dengan bobot badan rata-rata 300 kg.
3.      Pertambahan bobot badan per hari adalah 0,85 kg
4.      Kebutuhan pakan:
a.      Hijauan berupa rumput, per ekor sapi membutuhkan sebanyak 30 kg dengan harga Rp. 350/ kg
b.      Konsentrat diberikan 4 kg per hari dengan harga Rp. 3000/ kg.
c.   Sewa lahan seluas 500 m² sebesar Rp. 3.000.000,- per tahun atau Rp. 1.500.000,- per periode penggemukan.
d.      Bangunan kandang senilai 30 juta diperkirakan tahan sampau 20 tahun, sehingga selama satu tahun Rp. 30.000.000 : 20 tahun = Rp. 1.500.000,- berarti satu periode penggemukan senilai Rp. 750.000,-

A.    Biaya Produksi
a.       Biaya tetap
1.
Sewa lahan seluas 500 m²
= Rp.
1.500.000,-
2.
Penyusutan kandang dan perawatan
= Rp.
750.000,-
3.
Jumlah biaya tetap
= Rp.
2.250.000,-

b.      Biaya Variabel
1.
Sapi bakalan 10 ekor
= Rp.
50.000.000,-
2.
Kebutuhan pakan



Hijauan 30 kg x 10 ekor x 180 hari x Rp. 350
= Rp.
18.900.000,-

Konsentrat 4 kg x 10 ekor x 180 hari x Rp. 3000
= Rp.
21.600.000,-
3.
Tenaga kerja 1 orang 180 hari x Rp. 25.000,-
= Rp.
4.500.000,-
4.
Lain-lain (Listrik, telepon, transportasi)
= Rp.
2.500.000,-
5.
Total biaya Variabel
= Rp.
97.500.000,-

c.       Total biaya produksi                                          = Rp.   99.750.000,-

B.     Pendapatan
a.       Hasil penggemukan 10 ekor sapi
4500 kg x Rp. 30.000
  = Rp.
135.000.000,-
b.      Penjualan pupuk
8500 kg x Rp. 300
= Rp.
2.550.000,-
c.       Total hasil produksi                                           = Rp.  137.550.000,-

C.     Keuntungan
Keuntungan yang diperoleh dari hasil penggemukan sapi-sapi selama 1 periode (6 bulan) adalah sebagai berikut.

Total pendapatan – Total biaya produksi
Rp.  137.550.000 - Rp.   99.750.000 = Rp. 37.800.000,-

D.    Break Even Point (BEP)
Analisa BEP atau titik impas dari usaha tersebut adalah sebagai berikut.
BEP harga produksi    = Total Biaya / Total jumlah produksi
                                    = Rp. 99.750.000,- / 10 ekor
                             = Rp. 9.975.000,-

E.     Benefit Cost Ratio
Suatu usaha dikatakan layak apabila angka B/C rationya lebih dari 1, dengan perhitungan sebagai berikut :
B/C Ratio        = Total pendapatan / Total biaya
                        = Rp.  137.550.000,- / Rp. 99.750.000,-
                        = 1,38
Jadi, tiap peningkatan biaya sebesar Rp. 100,- menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 138,-


BAB III
PENUTUP

            Dari analisa usaha tersebut dapat disimpulkan bahwa, usaha tersebut layak dilaksanakan. Karena, dari perhitungan B/C ratio didapatkan hasil lebih dari 1. Sedangkan titik impas tercapai jika sapi hasil penggemukan dijual seharga Rp. 9.975.000,- per ekor.


DAFTAR PUSTAKA

Sudarmono A.S. dan Sugeng Y.B. 2008. Sapi Potong. Depok : Penebar Swadaya.
Soeharno, TS. 2009. Teori Mikro Ekonomi. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Sitepoe, M. 2009. Cara Memelihara Sapi Organik. Jakarta : Indeks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar